Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Tim Penyidik Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) resmi menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait importasi gula pada periode 2015-2016, pada Selasa (29/10/2024).
Kedua tersangka tersebut adalah mantan Menteri Perdagangan berinisial TTL dan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) berinisial CS.
Penetapan tersangka dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan JAM PIDSUS Nomor: Prin-54/F.2/Fd.2/10/2023, tertanggal 3 Oktober 2023.
Hal itu dikatakan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Dr. Harli Siregar, bahwa kedua tersangka diduga merugikan negara hingga Rp400 miliar melalui kegiatan impor gula yang tidak sesuai prosedur.
“Tindakan ini diduga melanggar regulasi yang mengatur impor gula di Indonesia. Kedua tersangka telah memanfaatkan wewenang mereka untuk memberikan izin impor yang seharusnya tidak diberikan. Kerugian negara yang timbul mencapai sekitar Rp400 miliar,” kata Harli Siregar dalam jumpa pers.
Pada tahun 2015, melalui rapat koordinasi antar-kementerian pada 12 Mei, diputuskan bahwa Indonesia memiliki surplus gula, sehingga tidak perlu melakukan impor.
Kendati demikian, tersangka TTL sebagai Menteri Perdagangan pada saat itu, tetap mengeluarkan izin impor gula kristal mentah (GKM) sebesar 105.000 ton kepada PT AP. Impor ini bertujuan untuk mengolah gula kristal mentah menjadi gula kristal putih (GKP).
Menurut aturan Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 tahun 2004, impor gula kristal putih hanya boleh dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, izin impor ini diberikan kepada perusahaan swasta tanpa melalui rapat koordinasi dengan instansi terkait dan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.
“Keputusan ini mencerminkan pelanggaran regulasi impor gula, yang seharusnya hanya diperuntukkan bagi BUMN. Prosesnya juga dilakukan tanpa konsultasi dengan kementerian terkait,” jelas Dr. Andrie Wahyu Setiawan, Kasubid Kehumasan Kejaksaan Agung.
Pada awal 2016, tersangka TTL memberikan penugasan kepada PT PPI untuk menjaga stabilisasi harga gula dan ketersediaan stok gula nasional melalui impor dan pengolahan gula.
Namun, PT PPI kemudian membuat perjanjian dengan delapan perusahaan swasta dan satu perusahaan tambahan, PT KTM, untuk mengolah gula kristal mentah menjadi gula kristal putih.
Padahal, seharusnya impor gula dilakukan dalam bentuk gula kristal putih secara langsung, dan hanya BUMN yang berwenang melakukan impor tersebut.
Untuk itu, kata M. Irwan Datuiding, Kabid Media dan Kehumasan Kejaksaan Agung, berdasarkan hasil investigasi, kerugian negara yang ditimbulkan diperkirakan mencapai Rp400 miliar. Keuntungan yang diperoleh dari pengolahan dan penjualan gula oleh perusahaan swasta seharusnya menjadi pendapatan negara.
Sementara PT PPI diduga mendapatkan fee sebesar Rp 105 per kilogram dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengolah gula kristal mentah tersebut. Selain itu, gula yang diolah tersebut dijual dengan harga Rp 16.000 per kilogram, lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan sebesar Rp 13.000 per kilogram.
“Kerugian negara yang timbul akibat kasus ini sangat signifikan. Peran para tersangka dalam memuluskan impor yang tidak sesuai aturan menjadi bukti adanya penyalahgunaan kewenangan,” ujar M. Irwan Datuiding, Kabid Media dan Kehumasan Kejaksaan Agung.
Kejaksaan Agung telah menahan kedua tersangka selama 20 hari ke depan. Tersangka TTL ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, sementara CS ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung.
Keduanya dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 junto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Kami berkomitmen untuk terus mengusut tuntas kasus ini agar praktik-praktik serupa dapat dicegah di masa mendatang,” tegasnya.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena melibatkan pihak-pihak dengan jabatan tinggi dan kerugian negara yang cukup besar.
Sumber: Kapuspenkum Kejagung RI