Tangerang, Matapantura.id – Selama hampir tiga dekade, sengketa tanah seluas 14 hektar di kawasan Karawaci, Tangerang, telah menjadi polemik yang tak kunjung usai. PT. Satu Stop Sukses (SSS), salah satu pihak yang merasa dirugikan dalam kasus ini, kini mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut.
Kisah sengketa ini bermula pada tahun 1993 ketika PT. Bina Sarana Mekar, dengan bantuan oknum Ditjen Perkebunan, diduga memindahkan lapangan sepakbola dari tanah miliknya ke tanah proyek perkavlingan milik Ditjen Perkebunan. Ironisnya, pemindahan ini dilakukan dengan memanfaatkan surat permohonan dari warga setempat yang ingin memiliki lapangan sepakbola baru.
Dalam perkembangannya, pemindahan lapangan sepakbola tersebut justru berdampak pada pemblokiran lahan seluas 14 hektar yang mencakup 162 kavling tanah milik warga dan fasilitas umum lainnya. Akibatnya, ratusan pemilik kavling kesulitan mengakses dan memanfaatkan tanah milik mereka.
Kismet Chandra, Direktur Utama PT. SSS, mengungkapkan bahwa pihaknya telah berupaya keras untuk menyelesaikan masalah ini secara hukum. Surat permohonan penyelesaian sengketa telah diajukan kepada Presiden, Kapolri, dan sejumlah pejabat tinggi negara lainnya. Menanggapi hal ini, Kapolri telah menginstruksikan jajarannya untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Sengketa tanah ini menyoroti sejumlah permasalahan serius, di antaranya:
* Penyalahgunaan wewenang: Dugaan keterlibatan oknum Ditjen Perkebunan dalam proses pemindahan lapangan sepakbola menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang yang merugikan banyak pihak.
* Kerugian materiil dan immateril: Ratusan pemilik kavling mengalami kerugian materiil akibat tidak dapat memanfaatkan tanah milik mereka secara optimal. Selain itu, mereka juga mengalami kerugian immateril berupa ketidakpastian hukum dan kerugian psikologis.
* Kelemahan penegakan hukum: Lambatnya proses penyelesaian kasus ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem penegakan hukum di Indonesia.
Sengketa Lahan 14 Hektare di Tangerang: Antara Klaim dan Fakta
Sebuah sengketa lahan seluas 14 hektare di Desa Bencongan, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang ini melibatkan PT. Satu Stop Sukses (SSS), Paguyuban Bina Mitra, dan sejumlah pihak lainnya.
Pusat perselisihan terletak pada kepemilikan dan penggunaan lahan tersebut. PT. SSS mengklaim memiliki hak atas dua kavling di lahan tersebut, yang di atasnya telah dibangun lapangan sepakbola. Klaim ini didukung oleh hasil penunjukkan batas yang telah dilakukan di hadapan penyidik dari Subdit II Mabes Polri.
Namun, Yayan Permana selaku Ketua Paguyuban Bina Mitra berusaha menghambat proses penunjukkan batas tersebut. Ia mengklaim bahwa lahan seluas 14 hektare tersebut merupakan tanah negara yang seharusnya didistribusikan kembali. Klaim ini pun didukung oleh sejumlah dokumen, seperti keputusan BPN dan putusan Mahkamah Agung.
Fakta yang Terungkap:
* Kesalahan alamat: Keputusan BPN RI tahun 1991 yang dijadikan dasar oleh Paguyuban Bina Mitra ternyata merujuk pada lahan yang berbeda.
* Dokumen palsu: Beberapa dokumen yang digunakan untuk menggugat kepemilikan lahan ternyata palsu.
* Putusan pengadilan: Pengadilan telah menyatakan bahwa surat keterangan garap yang dikeluarkan oleh Lurah Bencongan adalah palsu.
* Pembongkaran bangunan: Pada tahun 2012, Pemkab Tangerang telah melakukan pembongkaran bangunan-bangunan liar di lahan tersebut.
* Uang kerohiman: Sebagian besar penggarap telah menerima uang kerohiman sebagai ganti rugi.
Dari fakta-fakta yang terungkap, terlihat bahwa klaim Paguyuban Bina Mitra mengenai kepemilikan lahan tersebut tidak berdasar. Sebaliknya, PT. SSS memiliki bukti-bukti yang kuat untuk mendukung klaim kepemilikannya.
Kasus ini menunjukkan betapa rumitnya sengketa lahan di Indonesia. Seringkali, kepentingan pribadi dan kelompok lebih diutamakan daripada hukum dan keadilan.
(*)