Matapantura.id – Pernikahan adalah suatu karunia di mana sepasang manusia menjalin kehidupan bersama, membina rumah tangga dan merajut masa depan bersama.
Namun, pernikahan juga bisa menjadi bumerang jika saja salah dalam menata keharmonisan di dalam rumah tangga. Hal yang paling ditakuti di dalam pernikahan adalah perceraian.
Perceraian memang bukanlah jalan terkahir untuk menyelesaikan permasalahan di dalam hubungan rumah tangga, antara suami dan istri. Akan tetapi, kenyataannya banyak sekali yang memilih jalan terakhir ini, memilih jalan untuk bercerai.
Pilihan itu bukanlah yang tepat, sebab akan mengorbankan segala hal, seperti anak yang akan menjadi korban karena perceraian orangtuanya.
Dalam bahtera rumah tangga, sosok ayah menjadi figur utama bagi keluarga. Sosok ayah menjadi pelindung, pengayom dan pembimbing di dalam ruang kecil bernama keluarga. Namun terkadang, sosok ayah menjadi figur yang sama sekali tidak diinginkan oleh sang anak.
Istilah “Fathersless” jadi momok negatif bagi seorang ayah yang gagal mewujudkan harmoni keluarga, bahkan menjadi luka tersendiri bagi seorang anak.
Seorang anak tidak akan pernah menginginkan yang namanya perpisahan antara orangtuanya. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab perceraian itu terjadi, bahkan sang anak menjadi korban dari tindakan orangtuanya.
Lantas, apa yang menjadi penyebab perceraian itu terjadi?
Ada beberapa faktor utama yang menjadi penyebab perceraian.
Pertama, karena faktor ekonomi, kedua perselingkuhan yang berujung KDRT, dan ketiga adalah MBA (maried by accident). Sangat disayangkan memang, menikah hanya karena nafsu yang akhirnya berujung pada perceraian.
Berdasarkan informasi yang dihimpun matapantura.id di lapangan, data perkara kasus perceraian di Pengadilan Agama Tigaraksa, pada tahun 2023 kemarin, angka perceraian mencapai 7.806. Angka yang cukup besar bagi Kabupaten Tangerang dibanding dengan beberapa kota dan kabupaten yang ada di Provinsi Banten.
Padahal apabila di maknai dalam arti suatu pernikahan menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari pasal di atas tersebut kita dapat pahami bahwa perkawinan merupakan cita-cita mulia yang menjadi tujuan hidup bagi manusia, namun kini banyak kekhawatiran yang timbul atas pernikahan karena banyaknya problematika sehingga bermuara pada perceraian.
Memang betul, pernikahan itu sudah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1944 terhadap hak warga negara yang berbunyi pada pasal 28B ayat 1 adalah Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Tetapi dari sudut pandang lain dan Bunyi Pasal 28B ayat 2 setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan diri dari kekerasan dan diskriminasi.
Kita sering lupa akan hak-hak anak dan kewajiban orang tua untuk melindungi anaknya baik secara fisik, mental maupun lainnya.
Jika kita memaknai pemahaman di dalam agama, bahkan di dalam Al-Quran Allah telah berfirman yang artinya”Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (Bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (Istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat,” QS An-Nisa: 21.
Memaknai dari ayat tersebut, menurut Siswanto, Hakim Pengadilan Agama Wamena”Allah mengatakan bahwa pernikahan merupakan mitsaqan ghalidzan yaitu perjanjian yang kuat nan agung tidak hanya antara laki-laki dan perempuan maupun keluarganya tapi juga dengan Allah SWT,” kata Siswanto.
Tetapi melihat angka perceraian yang kian meningkat kini pernikahan hanya dilihat sebagai kewajiban dan status bukan di imani secara mendalam yang menuju kepada kebahagiaan baik dunia dan akhirat.
(Syahroni/rdk)