Jakarta – Suparji Ahmad, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Al Azhar menanggapi adanya pemberitaan di media bahwa pembentukan korps pemberantasan korupsi dilingkungan Polri lembaga yang dibentuk untuk menyaingi KPK dan Kejaksaan.
Diketahui bahwa, Perpres 112 tahun 2024 tentang susunan organisasi dan tata kerja Polri, mengamanatkan pembentukan Korps Pemberantasan Korupsi dilingkungan Polri.
Suparji Ahmad, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Al Azhar, berpendapat bahwa tidak ada masalah dengan pembentukan lembaga tersebut, konteksnya korupsi harus diberantas bersama-sama antara Kejaksaan, Polri dan KPK.
Lebih lanjut, Suparji mengatakan bahwa konsep pembentukan banyak jenis penyidik dan penyidikan (bersifat spesialis) dari berbagai instansi/lembaga pemerintah adalah sesuai dengan perkembangan hukum dan perkembangan kejahatan.
Selain itu, kejahatan yang terjadi saat ini dan kedepannya, sudah tidak mungkin hanya ditangani oleh satu lembaga penyidikan.
“Dalam kerjanya lembaga-lembaga penyidik sebagai salah satu sub sistem dari Integrated Criminal Justice System tidak boleh lagi tersekat berdasarkan prinsip deferensiasi fungsional ala KUHAP, misalnya saja, hubungan penyidik dengan Jaksa Penuntut Umum yang selama ini tersekat dengan lembaga pra penuntutan, maka ke depannya tidak begitu lagi, mereka berada dalam satu kesatuan kerja, tidak ada lagi penyidik menerima P18/P19 atau P21 dari Penuntut Umum, yang ada adalah kerja bareng sejak surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, persidangan dan eksekusi.Itulah yang menurut saya tepat, yaitu penegakan hukum pidana yang integralistik berdasarkan Pancasila,” jelas Suparji dalam keterangan tertulisnya.
Ia juga menuturkan, ada isu lain juga muncul di media sosial terkait Jaksa Agung dilaporkan ke KPK karena masalah data pribadi, tanda tangan dan data pernikahan. Menurut Suparji, Itu adalah isu lama yang sudah terklarifikasi.
Bahkan menurut Suparji, pelaporan ke KPK adalah hal yang aneh,”Masa lembaga pemberantasan korupsi diminta mengurusi masalah tersebut, ya jadinya seperti disdukcapil dan pengadilan agama. Itulah adu domba antar lembaga pemberantasan korupsi,” tuturnya.
Untuk masalah hidup mewah dan LHKPN, maka Suparji masih meyakini bahwa Jaksa Agung Burhanuddin masih on the track. Untuk itu, dapat diyakini pasti tidak seperti yang dilaporkan.
“Bahkan, disinyalir ada pihak-pihak yang berkepentingan menggunakan tangan pihak lain untuk membunuh karakter Jaksa Agung Burhanuddin. Ya, untuk saat ini kepentingannya adalah jabatan Jaksa Agung,” sambungnya.
Menurut Suparji, Jaksa Agung Burhanuddin dapat buktikan bahwa selama lima tahun kepemimpinan bisa membawa lembaga kejaksaan menjadi lebih baik dan dipercaya publik daripada tahun sebelum kepemimpinannya.
“Untuk pemberantasan korupsi yang dilakukannya, layak masyarakat untuk memberikan apresiasi,” ucapnya.
Terakhir, Suparji berharap spekulasi-spekulasi atas upaya koruptor dengan mengadu domba antar lembaga pemberantasan korupsi, semestinya tidak dihentikan dan tidak perlu ditanggapi secara serius.
(*)